Membincang soal sastra bisa diartikan bahwa kita sedang menerawang jauh suatu fenomena sosial. Ian Watt (1978), melalui rumusan sosiologi sastranya, mengajukan tiga wilayah telaah sastra dari sisi sosiologi. Pertama, konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi si pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial Sastra, dalam hal ini yang ditelaah adalah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, sampai sejauh mana nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial itu sendiri dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
Bagaimana karya sastra menjadi sebuah “barang antik bertuah” (fenomenal) bagi masyarakat pembacanya? Pertanyaan itu menjadi relasi antara rumusan sosiologi sastra di atas dengan judul tulisan ini. Selain itu, sebuah pernyataan yang juga memunculkan pertanyaan adalah “melalui karya sastra, kita (masyarakat pembaca) bisa melihat sisi lain fenomena-fenomena yang muncul di masyarakat. Pertanyannya yaitu, bagaimana sebuah fenomena sosial bisa menjadi jalan untuk melihat fenomena lainnya?
Hamim Kohari mengetengahakan sebuah hadits yang intinya, ketika kita melihat sebuah kemungkaran, maka cegahlah kemungkaran itu dengan tangan kita; jika kita tidak mampu, maka lakukan dengan lisan; jika masih tidak mampu juga, lakukan dengan hati. Refleksi mencegah kemungkaran dengan tangan pada hadits tersebut, salah satu bentuknya yang halus, adalah dengan menulis (sastra). Mengutip dari puisi Chairil Anwar, dengan menulis, kita akan hidup seribu tahun lagi. Begitulah narasumber memaparkannya.
Niatan penulis (sastra) akan menentukan arti (penting) dalam sebuah karya yang diciptakannya. Begitulah Juhl dan Hirsch (pakar sastra barat era 1980-an) memperdebatkannya dalam ranah pemberian arti dan makna sebuah karya sastra. Dengan begitu, melihat awal penyampaiannya, narasamuber (sebagai penyair) melakukan kegiatan sastrawinya dengan membawa misi-misi religious. Hal ini saya lihat dari tiga puisi yang pernah dibacakannya pada suatu event seminar. Dua puisi dintaranya berjudul Talqin dan Kuwak-kowok.
Merujuk pada wilayah telaah sosiologi sastra yang pertama, konteks sosial pengarang, dengan menggunakan pendekatan ekspresif, posisi sosial penulis (sastra) akan terlihat pada ungkapan atau ekspresi pada karyanya. Melalui karyanya, kita juga bisa melihat latar belakang dan faktor sosial lain si penulis. Selain itu, kita bisa melihat misi (niatan) si pengarang melalui ekspresi-ekspresi yang muncul dalam karyanya. Pada makalah yang disampaikannya, narasumber memberikan konsep bahwa suatu karya sastra yang baik akan selalu mengandung dua makna yaitu, makna niatan dan makna muatan. Dengan melihat misi (niatan) si pengarang maka kita mudah memahami keseluruhan arti karya yang diciptakannya.
Wilayah telaah yang kedua adalah sastra sebagai cerminan masyarakat. Penulis berupaya untuk menggambarkan kehidupan masyarakatnya dan mengangkat fenomena-fenomenanya yang muncul. Seringkali, sebuah karya yang fenomenal mencerminkan kehidupan sosial. Melalui bahasa sebagai mediumnya, pengungkapan cerminan sosial yang buruk digambarkan dengan gaya bahasa yang menyindir sehingga terkesan halus, atau mungkin akan menjadi lebih buruk dan mengerikan dari kenyataannya. Oleh karenanya, nilai-nilai estetis yang dimiliki karya sastra akan menjadi sisi lain untuk melihat bagaimana fenomena sosial itu muncul.
Slamet Wahedi, cerpenis asal Madura, pada suatu event bedah cerpen di Tebuireng, Desember 2010, menyampaikan bahwa karya sastra akan menjadi tempat berwisata ketika manusia dengan segala hiruk-pikuknya zaman tidak sanggup lagi melihat betapa mengerikannya realita yang mereka hadapi. Seperti halnya kemungkinan orang yang membaca Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata akan melihat bahwa dibalik kemiskinan masyarakat Belitong, yang tergambar melalui novel, ada keindahan persahabatan yang terjalin oleh sejumlah anak di suatu sekolah dasar yang miskin. Selain itu, mungkin orang akan terkesan melihat ada terselip kisah “cinta monyet” bocah sekolah dasar yang tak tersampaikan. Tentu akan banyak lagi yang melihat fenomena-fenomena lain dalam setiap karya sastra.
Telaah sosiologi sastra yang ketiga yaitu fungsi sosial sastra. Penulis (sastra) sebagai subjek dalam masyarakat pasti mengakui adanya nilai-nilai yang harus dijunjungnya begitu juga oleh setiap anggota masyarakat. Ketika seorang pengarang membangun semesta dalam karyanya, nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat akan ter(di)manifestasikan dalam karyanya. Bentuk manifestasi nilai-nilai tersebut bisa berupa penggambaran bagaimana semesta dalam karya sastra menjunjung nilai-nilai tersebut atau bahkan penolakan terhadap nilai itu sendiri. Bisaanya si pengarang akan menyampaikan gagasan baru tentang nilai-nilai melalui karyanya. Fungsi inilah yang menurut narasumber dimasukan kedalam konsep makna muatan di atas. Pesan, ide utama, dan sebagainya disampaikan sebagai muatan (amanat) si pengarang kepada masyarakat pembacanya. Fungsi lainnya yaitu bagaimana karya sastra bisa berfungsi sebagai hiburan dan edukasi bagi masayarakat pembacanya. Fungsi sosial sastra inilah yang saya kategorikan sebagai penentu apakah karya sastra bisa menjadi barang antik yang bertuah atau sekedar menjadi barang antik saja.
Sebuah konklusi: dengan mengulas beberapa hal diatas, maka karya sastra hanya akan menjadi barang antik untuk dinikmati keindahannya saja jika tidak ada suatu langkah berikutnya untuk mencermati arti dan maknanya agar menjadi barang antik dan bertuah. Apapun bentuk perang wacana dan pemaknaan terhadap suatu karya sastra merupakan suatu usaha untuk memperkaya nilai karya itu sendiri dan menjadikan karya tersebut semakin bertuah.
//Di muat di Kolom Budaya Radar Mojokerto Minggu ke-2, Februari 2011
0 Komentar untuk "Sastra Barang Antik Bertuah"